About Me

Foto Saya
Amatullah bintu Yusuf
Just Amatullah (servant of ALLAH)
Lihat profil lengkapku

Minggu, 31 Juli 2011

Korelasi Prinsip Organisasi dengan Ilmu Tajwid



Tema di atas mungkin sedikit terasa menggelitik karena mana mungkin ilmu tajwid mempunyai sebuah korelasi dengan organisasi? Namun impossible is nothing, tak ada yang mustahil di muka bumi ini jika kita mencermati dan menganalisa hubungan antara keduanya.

Organisasi berasal dari kata organon dalam bahasa Yunani yang berarti alat. James D. Mooney mengatakan bahwa : “Organization is the form of every human association for the attainment of common purpose” (Organisasi adalah setiap bentuk kerjasama untuk mencapai tujuan bersama). Sedangkan ilmu tajwid adalah ilmu yang mempelajari tentang tata cara memperindah bacaan al Quran.

Dalam kitab tukhfatu el athfal ilmu tajwid terbagi menjadi 4 macam  hokum bacaan dengan menggabungkan bacaan idhgom (sedangkan dalam kitab hidayatush-shibyan, kita akan menemukan 5 macam hukum bacaan nun mati jika bertemu dengan huruf hija'iyyah), diantaranya adalah idzhar, idghom, iqlab dan ikhfa'.
Dari kedua definisi tersebut  kita dapat membuktikan korelasi antara organisasi dengan ilmu tajwid.

Pertama Idzhar. Secara harfiyah, idzhar bermakna jelas, sementara menurut istilah qurro' yaitu dengan menjelaskan suara bacaan nun mati tatkala bertemu dengan 6 huruf halaq (huruf-huruf tenggorokan), korelasinya dengan organisasi adalah, Seperti dikemukakan oleh A.M. Williams dalam bukunya Organization of Canadian Government Administration” (1965), tentang prinsip-prinsip organisasi bahwa Organisasi Harus Mempunyai Tujuan yang Jelas.  Organisasi dibentuk atas dasar adanya tujuan yang ingin dicapai, dengan demikian tidak mungkin suatu organisasi tanpa adanya tujuan. Selain itu dalam sebuah organisasi harus menerapkan sistem keterbukaan antara pengurus dengan anggota yang dinaunginya shingga tidak ada sikap saling curiga.

Kedua Idghom, secara bahasa berarti at-tadâkhul yaitu saling memasukkan. Implementasinya dalam sebuah organisasi yaitu dengan saling memberikan advise positif antar pengurus dan anggota, agar tidak terjadi adanya kepemimpinan yang bersifat otoriter atau semena-semena. Sebab hakikatnya pengurus merupakan khodim/wakil para anggotanya yang diberi wewenang untuk mengatur jalannya roda organisasi, oleh karenanya dalam pengambilan keputusan harus berasaskan kemashlahatan bersama, seperti sebuah kaidah fiqh bahwa;

تصرّف الامام على الرّعيّة منوط بالمصلحة
Sejalan dengan kaidah fikih diatas, orang jawapun tak mau ketinggalan dengan mottonya,"Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani” (Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan dan di belakang memberi dorongan).

Ketiga, Iqlab, secara etimologi berarti al ibdâl yaitu mengganti, dalam sebuah organisasi perlu adanya pembaharuan, reformasi dan kaderisasi- seperti yang dalam waktu dekat ini akan dihelat oleh Gamajatim- agar tidak terjadi stagnasi, sebab disetiap yang baru terdapat inovasi dan nuansa baru. Dalam hal ini saya juga teringat akan kata-kata bung Karno, "Jika anda ingin tahu masa depan suatu organisasi, maka lihatlah generasinya".

Keempat, Ikhfa', jika ditinjau dari segi bahasa artinya adalah menyamarkan atau merahasiakan. Maka setiap unsur dalam organisasi harus bisa menjaga hal-hal yang bersifat private bagi organisasi.

Dari uraian diatas maka bisa diambil sebuah natijah bahwa sebuah organisai tidak akan bisa berjalan dengan lancar jika tanpa ditopang kerjasama yang solid antar semua elemen yang tersusun didalamnya. Ibarat sebuah mobil, jika semua onderdil yang terdapaat pada badan mobil tersebut bias berfungsi secara maksimal, maka yakinilah bahwa mobil tersebut akan bisa berjalan dengan mulus, lancar tanpa adanya kendala yang berarti, kecuali jika "tangan Tuhan" ikut mengintervensi, maka kita harus rela hati karena kehendaknya itulah yang terjadi, bak kata pujangga, "ana uried, anta turied, nahnu nuried, wallahu yaf'alu maa yuried".

Akhirnya, semoga tulisan ringan ini bisa sedikit memberikan wacana dan motivasi untuk kita semuanya, khususnya untuk para nahkoda bahtera GAMAJATIM, sehingga kita semua mampu mencapai pulau kesuksesan dengan selamat, amien..


1 romadhon 1432 H
*Hibah Tulisan dari Kang Qomaruzzaman 
 (Mahasaiswa jurusan syariah islamiyah Universitas Al azhar, Cairo) 

Kamis, 28 Juli 2011

Hidroponik Stroberi


Hidroponik adalah cara budidaya tanpa media tanah yang tidak menyediakan unsur hara dan merupakan bagian dari pertanian pada kondisi lingkungan terkendali (Controlled Environment Agriculture) dalam rumah kaca atau rumah kasa. Menurut Wijayani dan Widodo (2005) dengan sistem hidroponik dapat diatur kondisi lingkungannya seperti suhu, kelembaban relatif dan intensitas cahaya, bahkan faktor curah hujan dapat dihilangkan dan serangan hama penyakit dapat diperkecil.

1. Perbanyakan Tanaman
 a. Perbanyakan dengan stolon
Stroberi diperbanyak secara vegetatif dengan menggunakan sulur atau stolon. Sulur adalah batang khusus yang timbul dari ketiak daun.  Sulur tumbuh sejajar dengan tanah dan membentuk tunas anakan pada setiap ruas. Pada setiap buku tunas anakan muncul akar dan tumbuh menjadi tanaman baru.  Dari setiap tanaman induk dapat diperoleh 20 pohon untuk dijadikan bibit.  Jika bibit telah tumbuh dan mempunyai 4-5 helai daun maka dapat dipindahkan ke bedengan dengan jarak tanam 15x15 cm.  Sebelum dipindahkan bibit harus diseleksi terlebih dahulu yaitu dipilih bibit yang sehat dan kuat.  Dua bulan kemudian sulur tersebut siap untuk dipindahkan ke kebun (Herlinayanti, 2003).

b. Perbanyakan Secara In Vitro
Stroberi termasuk salah satu tanaman yang mudah diperbanyak dengan teknik in vitro.  Dari satu pucuk meristem berukuran 0,5-0,7 mm dapat dihasilkan 15-20 pucuk perminggu.  Dari 15 pucuk yang diperoleh dapat dibagi menjadi 7-8 kelompok, masing-masing terdiri dari dua pucuk.  Dalam waktu 6-8 minggu kelompok baru akan kembali membentuk sejumlah pucuk.  Kemudian pucuk-pucuk tersebut kembali dipecah dalam beberapa kelompok hingga menghasilkan ribuan tanaman (Gunawan, 1996). 

2. Persiapan tanam
Menurut Gunawan (2008) hal penting dalam sebelum melakukan penanaman dalam greenhouse adalah sterilisasi greenhouse. Sterilisasi dilakukan dengan tujuan untuk membersihkan seluruh greenhouse dari mikroorgnisme (telur/larva, virus, bakteri dan fungi) yang dapat merugikan tanaman. Ada beberapa bahan yang dapat digunakan dalam sterilisasi antara lain; lysol, formalin dan beberapa jenis pestisida, dengan cara:
  1. Formalin 5% disemprotkan ke seluruh bagian greenhouse dengan konsentrasi 5 cc/liter air
  2. Dalam waktu 4-5 hari setelah penyemprotan formalin disusul dengan penyemprotan pestisida (insektisida dan fungisida) dan diulang sampai 2-3 kali.
  3. Sehari sebelum media tanam ditata, greenhouse disemprot dengan larutan lysol dengan konsentrasi 3-5 cc/ liter air.
  4. Instalasi bak desinfektan kaki supaya penyakit tidak bisa dibawa ke dalam greenhouse.
Jika ditanam di dalam pot, media harus memiliki sifat poros, mudah merembeskan air dan unsur hara selalu tersedia (Anonymous, 2009a). Sedangkan tanaman stroberi yang ditanam dalam ruang tertutup (greenhouse) dapat menggunakan media rockwool atau arang sekam. Rockwool adalah batu gamping, yang dicampur dengan serat benang yang diolah pada suhu tinggi (600º C).  Arang sekam berasal dari kulit padi yang dibakar.  Kedua media tanam tersebut dipakai untuk penanaman secara hidroponik.  Pada umumnya arang sekam lebih umum digunakan petani untuk penanaman stroberi kerena tidak mengikat hara.  Sehingga nutrisi yang diberikan kepada tanaman dapat dikontrol dan tidak merusak akar saat tanaman dipindahkan (Budiman dan Desi, 2005).

3. Pemberian Nutrisi
Pada sistem budidaya hidroponik unsur hara esensial yang diperlukan tanaman disediakan dalam bentuk larutan/nutrisi. Larutan hara dibuat dengan cara melarutkan garam-garam pupuk dalam air. Berbagai garam jenis pupuk dapat digunakan untuk larutan hara (Anonymous, 2009b). Salah satu kesulitan didalam penyiapan larutan hara ini adalah belum diketahuinya dosis unsur hara yang optimal bagi pertumbuhan tanaman. Pada dosis yang terlalu rendah pengaruh larutan hara tidak nyata, sedangkan pada dosis yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan tanaman mengalami plasmolisis, yaitu keluarnya cairan sel karena tertarik oleh larutan hara yang lebih pekat (Wijayani, 2000; Marschner, 1986).

Pemupukan dan Penyiraman (fertigasi) pada budidaya sistem hidroponik umumnya dilakukan secara bersamaan. Teknis fertigasi dapat dilakukan dengan manual atau sistem irigasi tetes (Drip irrigation system). Akan tetapi teknis fertigasi terbaik adalah dengan sistem irigasi tetes karena fertigasi dapat diberikan secara merata, meminimalisir tenaga kerja, menghemat waktu. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam sistem irigasi tetes yaitu; kualitas air (sumber air) harus bersih dan bebas dari penyakit dan bahan kimia, kualitas nutrisi dengan komposisi hara harus dengan kebutuhan tanaman dan mempunyai kemampuan larut 100 %, waktu, volume dan frekuensi fertigasi dan jenis media yang digunakan (Gunawan, 2008).

Terdapat beberapa faktor penting dalam menentukan formula nutrisi hidroponik diantaranya adalah :
1) Menggunakan garam yang mudah larut dalam air.
2) Meminimalisir kandungan sodium, khlorida, amonium dan nitrogen organik unsur unsur yang tidak dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman.
3) Menggunakan komposisi garam yang tidak bersifat antagonis satu dengan yang lainnya.


Tabel 1. menunjukkan jenis garam yang direkomendasikan untuk larutan nutrisi hidroponik.
           Unsur hara makro seperti N, P, K, dan Mn harus dijaga pada konsentrasi rendah dalam larutan.  Konsentrasi yang tinggi dalam larutan dapat mengakibatkan ketidakseimbangan hara. N untuk larutan hidroponik disuplai dalam bentuk nitrat.    N dalam bentuk ammonium nitrat mengurangi serapan K, Ca, Mg, dan unsur mikro. Kandungan amonium nitrat harus di bawah 10 % dari total kandungan nitrogen pada larutan nutrisi untuk mempertahankan keseimbangan pertumbuhan dan menghindari penyakit fisiologi yang berhubungan dengan keracunan amonia. Konsentrasi fosfor yang tinggi menimbulkan defisiensi Fe dan Zn, sedangkan K yang tinggi dapat mengganggu serapan Ca dan Mg (Rosliani dan Nani, 2005).


Rosliani dan Nani (2005) menyatakan bahwa unsur mikro dibutuhkan dalam jumlah kecil untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Fungsi unsur mikro adalah untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan penyakit atau hama. Kekurangan Mn menyebabkan tanaman mudah terinfeksi oleh cendawan Pythium. Tembaga (Cu) dan seng (Zn) dapat menekan pertumbuhan mikrobia, tetapi pada konsentrasi lebih tinggi menjadi racun bagi tanaman. Formula nutrisi yang berbeda mempunyai pH yang berbeda, karena garam-garam pupuk mempunyai tingkat kemasaman yang berbeda jika dilarutkan dalam air. Garam-garam seperti monokalium fosfat, memiliki tingkat kemasaman yang lebih  lebih rendah dibandingkan dengan kalsium nitrat. Tanaman stroberi  pada kultur hidroponik membutuhkan pH larutan antara 5,8 sampai 6,5 (Gunawan, 1996).

Pengontrolan larutan nutrisi yang diberikan  pada sistem hidroponik dilakukan  melalui electro conductivity (EC) menggunakan alat EC meter. electro conductivity (EC)  diperlukan untuk mengetahui cocok tidaknya larutan nutrisi untuk tanaman.  Semakin tinggi garam dalam air, electro conductivity (EC) akan semakin tinggi. Konsentrasi garam yang tinggi dapat merusak akar tanaman dan mengganggu serapan nutrisi dan air. Setiap jenis dan umur tanaman membutuhkan larutan dengan electro conductivity (EC)  yang berbeda-beda. Kebutuhan electro conductivity (EC)  berbanding lurus dengan fase pertumbuhan tanaman. Selain itu, Kebutuhan EC dipengaruhi oleh kondisi cuaca, seperti suhu, kelembaban, dan penguapan. Jika cuaca terlalu panas, sebaiknya digunakan EC rendah (Rosliani dan Nani, 2005).

 4. Pengendalian Hama Penyakit
Beberapa hama yang sering menyerang stroberi diantaranya adalah kutu daun, tungau, kumbang penggerek, kutu putih dan nematoda.
-        Kutu daun
            Kutu daun yang menyerang stroberi yaitu Chaetosiphon fragaefolii. Kutu daun tersebut berwarna kuning kemerahan, berukuran 1-2 mm dan hidup bergerombol di permukaan bawah daun. Kutu menyebabkan pucuk daun menjadi keriput, keriting dan pembentukan bunga/buah terhambat. 
-        Tungau
            Dua jenis tungau yang menyerang stroberi adalah Tetranychus sp dan Tarsonemus sp. Serangan tungau mengakibatkan daun berbercak kuning sampai coklat, keriting, mengering dan gugur. 
-        Kumbang penggerek
            Kumbang penggerek yang menyerang stroberi terdiri dari tiga jenis yaitu kumbang penggerek bunga (Anthonomus rubi), kumbang penggerek akar (Otiorhynchus rugosostriatus) dan kumbang penggerek batang (O. Sulcatus). Ketiga kumbang ini menyerang dengan cara menggerek bagian tanaman akan terdapat tepung. 
-        Kutu putih (Pseudococcus sp.)
            Kutu putih merupakan serangga yang mudah terbang dan cepat perkembangannya. Bagian tanaman yang terserang kutu putih akan menjadi abnormal. 
-        Nematoda (Aphelenchoides fragariae atau A.ritzemabosi
            Hidup di pangkal batang bahkan sampai pucuk tanaman.  Tanaman akan tumbuh kerdil, tangkai daun kurus dan kurang berbulu (Anonymous, 2008b).
Penyakit yang sering menyerang tanaman stroberi antara lain adalah kapang kelabu, busuk buah matang, busuk rizopus, empulur merah, embun tepung, daun gosong, busuk daun dan layu vertisillium.
-       Kapang kelabu
            Kapang kelabu disebabkan oleh cendawan Botrytis cinerea. Penyakit ini menyebabkan bagian buah membusuk dan berwarna coklat lalu mengering. 
-       Busuk buah matang
            Busuk buah matang disebabkan cendawan Colletotrichum fragariae Brooks. Gejala serangan busuk buah matang adalah buah masak menjadi kebasah-basahan berwarna coklat muda dan buah dipenuhi massa spora berwarna merah jambu. 
-       Busuk rizopus
            Busuk rizopus (Rhizopus stolonifer) gejalanya buah busuk, berair, berwarna coklat muda dan bila ditekan akan mengeluarkan cairan keruh.  Di tempat penyimpanan, buah yang terinfeksi akan tertutup miselium jamur berwarna putih dan spora hitam. 
-       Empulur merah
            Empulur merah disebabkan Phytophthora fragariae Hickman. Penyakit ini menyerang akar sehingga tanaman tumbuh kerdil, daun tidak segar, kadang-kadang layu terutama siang hari. 
-       Embun tepung
            Embun tepung disebabkan oleh Sphaetotheca mascularis atau Uncinula necator. Gejala bagian yang terserang, terutama daun, tertutup lapisan putih tipis seperti tepung, bunga akan mengering dan gugur. 
-       Daun gosong
            Daun gosong disebabkan Diplocarpon earliana atau Marssonina fragariae. Penyakit ini menjadikan daun berbercak bulat telur sampai bersudut tidak teratur, berwarna ungu tua. 
-       Bercak daun atau busuk daun
Bercak daun atau busuk daun disebabkan cendawan Phomopsis obscurans. Gejala daun yang terserang adalah terdapatnya noda bula berwarna abu-abu dikelilingi warna merah ungu, kemudian noda membentuk luka mirip huruf V. 
-       Layu vertisillium
            Layu vertisillium disebabkan Verticillium dahliae. Daun yang terinfeksi berwarna kekuning-kuningan hingga coklat, layu dan tanaman mati (Anonymous, 2008b).
Pencegahan hama dan penyakit umumnya dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan greenhouse, menanam bibit yang sehat, memberikan pupuk sesuai anjuran sehingga tanaman tumbuh sehat, melakukan pergiliran tanaman dengan tanaman bukan keluarga Rosaceae, memangkas bagian tanaman atau mencabut tanaman yang sakit dan menghancurkan tanaman terserang. Perbaikan drainase dapat menurunkan serangan penyakit (Anonymous, 2008b).

5. Panen dan Pascapanen
Pemanenan buah stroberi dapat dilakukan 8 minggu setelah penanaman pada tanaman dari bibit stolon berperakaran baik.  Masa panen berlangsung 3-4 minggu, setiap minggu 2 kali pemanenan (Gunawan, 1996).  Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Linardakis dan Manios (2005) stroberi yang ditanam pada sistem hidroponik dapat menghasilkan 734 gram buah per tanaman per tahun. Sedangkan penanaman di lahan terbuka yang hanya mencapai 450 gram per tanaman per tahun. Pemetikan buah stroberi yang akan dipasarkan untuk konsumsi harus disertakan kaliks, sedangkan untuk pengolahan tanpa kaliks (Gunawan, 1996).
Buah disimpan dalam suatu wadah dengan hati-hati agar tidak memar, simpan di tempat teduh atau dibawa langsung ke tempat penampungan hasil.  Kemudian dihamparkan di atas lantai beralaskan terpal atau plastik, lalu buah dicuci dengan air mengalir dan ditiriskan di atas rak-rak penyimpanan.  Buah yang rusak dipisahkan dari buah yang baik. Penyortiran buah berdasarkan pada warna dan ukuran buah yang dibedakan menjadi  tiga kualitas buah yaitu:
  1. Kelas ekstra: (1) buah berukuran 20-30 mm atau tergantung spesies (2) warna dan kematangan buah seragam
  2. Kelas 1: (1) buah berukuran 15-25mm atau tergantung spesies (2) bentuk dan warna buah bervariasi.
  3. Kelas II: Tidak ada batasan ukuran minimum, dan merupakan sisa seleksi untuk kualitas ekstra dan kelas I.  Tetapi masih baik untuk konsumsi segar maupun untuk tujuan pengolahan.
Kemudian buah dikemas dalam wadah plastik transparan atau putih kapasitas 0,25-0,5 kg dan ditutup dengan plastik lembar polietilen.  Penyimpanan dilakukan di rak dalam lemari pendingin 0-1º C (Rukmana, 1998).

Morfologi Stroberi (Fragaria sp)


Stroberi (Fragaria sp) termasuk kedalam genus Fragaria keluarga Rosaceae, dan memiliki beberapa ciri morfologi.  Struktur akar tanaman stroberi terdiri atas pangkal akar (collum), batang akar (corpus), ujung akar (apex), bulu akar (pilus radicalis), serta tudung akar (calyptra).  Tanaman stroberi berakar tunggang (radix primaria) panjangnya dapat mencapai 100 cm, akan tetapi umumnya hanya menembus lapisan tanah atas sedalam 15 cm- 45 cm.  Pada tanaman dewasa terdapat 20-35 akar primer dan dapat bertahan selama satu tahun atau lebih.  Akar-akar baru akan tumbuh dari ruas terdekat akar primer (Rukmana, 1998).

Selanjutnya dijelaskan oleh Budiman dan Desi (2005) daun stroberi merupakan daun trifoliat dengan tepi bergerigi dan terdapat 300-400 stomata per mm2.  Daun baru terbentuk setiap 8-12 hari pada temperatur rata-rata 22º C dan  bertahan selama 1-3 bulan kemudian kering.  Daun tumbuh disetiap buku batang, sehingga batang tertutupi oleh daun.  Ditambahkan oleh Gunawan (1996) pada ketiak daun terdapat pucuk aksilar yang dapat berkembang menjadi stolon (runner) dan crown cabang.  Arah perkembangan pucuk aksilar ditentukan oleh potensi genetik dan faktor lingkungan.  Pada umumnya bila tanaman diberi hari panjang maka akan terbentuk stolon dan pada hari pendek akan berkembang menjai crown cabang atau bunga.


             Menurut Budiman dan Desi (2005) bunga stroberi tersusun dalam influresen (malai) yang berukuran panjang, terletak pada ujung tanaman.  Setiap malai bercabang mempunyai empat macam bunga, yaitu satu bunga primer, dua bunga sekunder, empat bunga tersier serta delapan bunga kuartener seperti ditunjukkan pada Gambar 1.  Ditambahkan oleh Ashari (1995) bunga stroberi bersifat (hermaphrodit), klon yang hanya berbunga jantan atau betina biasanya tumbuh secara liar. Gunawan (1995) menyatakan bahwa struktur bunga terdiri atas 5 kelopak bunga (sepal), 5 daun mahkota (petal), 20-35 benang sari (stamen) dan ratusan putik (pistil) yang menempel pada reseptacle seperti ditunjukkan pada Gambar 2.


Gambar 1. Struktur influoresen bunga stroberi

Gambar 2. Bagian-bagian bunga  stroberi

           Jumlah kepala putik akan mempengaruhi produksi buah stroberi, semakin banyak jumlah kepala putik semakin besar ukuran buah.  Kepala putik reseptif sebelum masaknya tepung sari pada bunga yang sama.  Hal ini memberi kesempatan terjadinya penyerbukan silang.  Kepala putik yang diserbuki dengan tepung sari dari bunga lain dapat menghasilkan buah yang lebih besar dibandingkan dengan tepung sari dari bunga yang sama.  Pada saat bunga membuka, tepung sari menyebar dan tidak semua kepala putik terserbuki, apabila semua kepala putik terserbuki maka ukuran buah akan besar dan simetris. Sterilitas tepung sari menyebabkan terbentuknya buah normal dari bunga pertama, kemudian tidak terbentuk buah pada bunga terakhir.  Sedangkan bila bunga pertama tidak terbentuk buah, kemudian bunga terakhir terbentuk buah normal, hal ini disebabkan penyerbukan yang tidak sempurna (Ashari, 1995).


Selasa, 26 Juli 2011

Konsep Pekarangan



Konsep pekarangan diperkenalkan oleh sekelompok orang yang berasal dari Indochina dan selanjutnya menetap di Jawa Tengah sejak tahun 860 M. Pekarangan berkembang kearah Jawa Timur, Madura dan Bali dan penyebaran ke daerah Jawa Barat pada abad ke-18 (Terra dalam Christanty et al., 1985). 

Pemahaman terhadap konsep pekarangan didefinisikan sebagai suatu bentuk ekosistem buatan dimana komunitas penyusunnya didominasi oleh tanaman budidaya yang berguna bagi masyarakat penghuninya (Purwanto dan Munawaroh, 2001). Sedangkan Affandi, (2008) menyatakan bahwa pekarangan merupakan suatu tipe hutan desa, sistem yang bersih dan terpelihara dengan baik dan terdapat di sekitar rumah, berukuran kecil (0,1 ha), dipagari dan ditanami dengan berbagai jenis tanaman mulai dari sayur-sayuran sampai ke pohon yang berukuran sedang dengan ketinggian 20 m, dan banyak dilakukan oleh masyarakat di Pulau Jawa. Kurniasari, (2002) menyebutkan bahwa pekarangan yang utuh terdiri dari : rumah, dapur, peceren, pawuhan, pelataran, ternak dan sistem tanam. Peceren adalah tempat pembuangan air. Pawuhan adalah tempat pembuangan sampah dapur. Pelataran adalah bagian  dari pekarangan yang dibiarkan bersih, biasanya berada didepan rumah dengan menanam tanaman dengan tujuan estetika.

Malik dan Saenorig, (1999) mengungkapkan pada dasarnya usahatani pekarangan sama dengan usahatani lahan kering lainnya seperti tegalan, kebonan atau gabungan dari keduanya. Sehingga perbandingan antara tanaman tahunan dan tanaman semusim sangat bervariasi. Hal ini sangat bergantung dari petani, ukuran lahan dan keadaan geografis pekarangan tersebut. Namun demikian karena letaknya yang khas, struktur dan fungsi pekarangan lainnya maka, usahatani pekarangan mempunyai beberapa ciri khas yang mudah diamati, yaitu:

  • 1.      Adanya saling keterikatan diantara sub sistem tanaman pangan, hortikultura semusim, sub sistem tanaman tahunan, sub sistem peternakan dan sub sistem perikanan.
  • 2.  Mencapai produksi dan produktifitas melalui optimalisasi pemanfaatan lahan tanpa mengabaikan aspek-aspek pekarangan lainnya yaitu sosial kultural, nutrisi dan kesehatan, ekonomi, ekologi dan keindahan.
  • 3.   Melibatkan seluruh anggota keluarga sehingga biasanya faktor produksi tenaga kerja seringkali tidak diperhitungkan. Pengawasan dan pengelolaan umumnya dilakukan oleh kaum ibu yang secara inti lebih banyak waktunya berada di wilayah pekarangan.
Keanekaragaman jenis tanaman di pekarangan umumnya telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan pekarangan tersebut. Faktor lain yang mempengaruhi keanekaragaman jenis tumbuhan pekarangan adalah aspek sosial, budaya dan ekonomi (Purwanto dan Munawaroh, 2001). Kebun-kebun pekarangan (home-garden) memadukan berbagai sumber daya tanaman asal hutan dengan jenis-jenis tanaman eksotik yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari, seperti buah-buahan, sayuran dan tanaman untuk penyedia bumbu dapur (Bhs. Jawa: tanaman rempah), tanaman obat, serta jenis tanaman yang diyakini memiliki kegunaan gaib. Contohnya, menurut kepercayaan di Jawa ranting pohon kelor (Moringa pterygosperma Gaerttn.) dapat digunakan untuk menghilangkan kekebalan seorang yang ber- ’ilmu’. Ranting bambu kuning dapat digunakan untuk mengusir ular dan sebagainya (Hairiah, Sardjono dan Sabarnurdin, 2003).

Semakin banyak campur tangan manusia membuat pekarangan menjadi semakin artifisial (sistem buatan yang tidak alami). Kekhasan vegetasi hutan seringkali masih bisa ditemukan, misalnya dapat dijumpai berbagai jenis “tumbuhan bawah” seperti berbagai macam pakis (fern), atau epifit (misalnya anggrek liar). Kekayaan jenisnya bervariasi, beberapa pekarangan yang tidak terlalu banyak campur tangan pemiliknya memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi, yang dapat mencapai lebih dari 50 jenis tanaman pada lahan seluas 400 m2 (Hairiah et al, 2003). 

Senin, 25 Juli 2011

Membungakan Anggrek (Dendrobium anosmum)

Dendrobium anosmum Lindl. merupakan jenis Dendrobium dengan salah satu ciri umbi semu berdaging dan bunga muncul dari batang yang tua dan tidak berdaun. D. anosmum ditinjau dari nama jenisnya ”anosmum” bahasa Latin berarti harum, menunjukkan bahwa anggrek ini memiliki bunga yang beraroma. Persebaran anggrek ini meliputi India, Semenanjung Malaya, Indochina, Indonesia, Piliphina dan Papua Nugini. Di Indonesia, koleksi anggrek D. anosmum terdapat di Kebun Raya Purwodadi yaitu Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Papua.

Bunga D. anosmum muncul di bagian atas umbi semu (batang) terutama setelah mengalami gugur daun. Bunga dengan ukuran diameter mekar bunga 8 – 10 cm, kelopak dan mahkota berwarna ungu dan bibir bagian dalam ungu tua. Masa mekar bunga sekitar 5 – 7 hari dengan aroma bunga seperti aroma buah stroberi. Pada umumnya adaptasi anggrek D. anosmum terhadap lingkungannya hampir sama dengan anggrek merpati yaitu tahan terhadap kekeringan dan intensitas cahaya tinggi. Demikian halnya dengan budidayanya dengan cara vegetatif yaitu pemisahan rumpun dan anakan (keiki). Musim berbunga pada umumnya September sampai Nopember.

Bagi anda penggemar salah satu family orcihidaceae ini dan ingin melihat indahnya kuntum-kuntum D. anosmum menjuntai indah di pekarangan anda. Seorang hobbies anggrek berhasil mendapatkan gelar best of spesies di orchid festival setelah melakukan perlakuan khusus pada D. anosmum miliknya. Berikut step by step membungakan D. anosmum:
1.    Satu persatu daun D. anosmum dirompes pada pertengahan agustus.
2.    Batang D. anosmum yang telah gundul dimasukkan ke dalam dus. Setiap sisi terbuka dus ditutup rapat menggunakan isolasi. Hal tersebut bertujuan agar suasana di dalam dus karton menjadi panas.
3.    Dus karton berisi D. anosmum disimpan di tempat ternaungi.
4.    Diamkan D. anosmum di dalam dus karton selama satu minggu.
5.    Setelah dikeluarkan  dari dus karton, batang D. anosmum akan terlihat mengeriput.
6.    Gantung D. anosmum secara terbalik di tempat ternaungi. D. anosmum tetap dibiarkan tidak disiram selama sehari semalam. Bila langsung disiram akan berakibat fatal, tanaman akan mati.
7.    Setelah sehari semalam digantung, seluruh bagian tanaman efifit itu langsung disemprot larutan fungisida sesuai dosis aturan.
8.    Seminggu kemudian pupuk ber D. anosmum diberikan pupuk yang mengandung fosfat dan kalsium tinggi (berfungsi untuk memacu pembungaan). Pemupukan dilakukan seminggu sekali.
9.    Sekitar 1-1,5 bulan pascaperlakuan, dari bekas dudukan daun akan muncul calon-calon bunga. 

Kamis, 21 Juli 2011

Jelarut (Marantha arundinacea L)


Jelarut merupakan tanaman tropik yang membutuhkan curah hujan 50-300mm/tahun dengan kelembapan 50-85%. Tanaman tumbuh baik pada tanah bertekstur gembur (lempung berpasir) dan subur dengan pH 5-6,5 (Taryono, 1999). Garut dapat berproduksi baik bila ditanam di dataran rendah, pada ketinggian 60-90 m dpl, namun tanaman tetap dapat tumbuh normal sampai ketinggian 900 m dpl (Sudiarto dan Effendi, 1998). Tanaman garut dapat diperbanyak dengan menggunakan rimpang umbi. Bagian rimpang umbi yang digunakan sebagai bibit umumnya mempunyai 2-3 mata tunas.


Tanaman jelarut juga dapat diberbanyak secara vegetatif dengan menggunakan tunas (anakan) yang tumbuh setelah dipanen atau rimpang yang telah bertunas. Apabila bibit yang digunakan berasal dari tunas sisa panen, maka sebelum ditanam tunas perlu dibersihkan dan memotong bagian pucuk. Dalam memperbanyak bahan tanaman (bibit), rimpang umbi yang sudah cukup umur dicuci dengan air bersih kemudian diangin-angin hingga kulitnya mengelupas agar lebih mudah dipotong-potong. Petani umumnya menggunakan bibit dari satu rimpang, sedangkan dalam satu rumpun hanya menghasilkan 8-10 buah rimpang (Suhertini dan Lukman, 2003).


Jelarut banyak ditanam di pekarangan rumah sebagai strategi pangan berlapis bagi petani di pedesaan. Di pekarangan, jelarut ditanam sepanjang musim yang tumbuh dari rimpang-rimpang sisa panen. Pemanenan dilakukan saat petani membutuhkannya, sperti hari raya maupun hajatan keluarga besar. Jelarut diolah menjadi tepung jelarut yang kemudian diolah menjadi berbagai jenis panganan.




Farming system


Farming systems affected by certain factors which, in turn, can be affected by the operation of the agricultural system with cropping systems, its have unique characteristics, such as rice field which is always planted with rice (Rademeker, 1990). Djamali (2000) adds that farmers do farming varies greatly depending on natural conditions, commodities, cropping patterns and the level of commercialization, as well as the mastery level of production factors. Each region have a different natural conditions with other regions. The difference of natural conditions is usually accompanied by other differences that are relevant to the conditions of each region. The differences include differences in the form of physical, economic, social, cultural and others.Therefore, differences in geography, topography and socioeconomic conditions of each region will affect the choice of plants and animals are managed. 

Farming system is unique and stable within a reasonable planning in farming activities (eg crop cultivation, animal husbandry, agricultural processing) are managed based on the ability of the physical environment, biological, social and economic as well as in accordance with the objectives, capabilities and resources possessed by farmer (Febryanti, 2003). Norman (Rademeker, 1990) describes the factors that affect the farm system that is able to emphasize a variety of factors working in the agricultural system. Humans and farm management techniques is an element that affect agricultural systems. Humans are influenced by social factors and local culture, while the management techniques of Humans and farming  influenced by physical factors, biological, chemical and mechanical nature such as in Figure 1.  


 Sources: Norman and Gilbert in Rademaker, 1990 Figure 1. Factors affecting the agricultural system 

Sub systems that establish the farm according to FAO (1989 In Febrianty, 2003) is: 
1. L
and use system. In this system farmers use a plot of land to be planted with plan, such as: food crops, including horticultural crops, industrial crops and fodder crops. 

2. 
Livestock system. In addition the farmers  using land to cultivating food crops and livestock maintenance, both major types of livestock poultry and fish. 

3. 
System of farm households. In this system farmers do business outside the farmers' activities (off farm) because in their function as individual beings, each farmer households have a relatively distinct character that will provide a relatively different pattern to their farming system . While in its function as a social being in a group then the peasant households interact with each other so it is a farm system. The system of farming households is an agent of society in a region or country. So the social, cultural, physical environment and government policies are giving effect to the farming systems in the region concerned. 

The original Javanese farming system consists of rice fields and home garden with the addition of poultry and livestock. 
Then the related Polynesian agricultural systems (root crops) and agricultural systems included in the Java field since the eighth century because the expansion of cultural and population pressure in East Java and West Java (Rademeker, 1990). Christanty et al., 1985 stated that dry land farming system according to must have the following criteria: 

1. Ecology 
The system must protect the soil from erosion and provides results that are sustainable without causing environmental damage. 

2. Economy 
The system should increase of carrying ecosystems capacity and can be a source of livelihood in the long time to the public 

3. Psychology and politics 
Traditional knowledge of farmers used to run their farm. Local knowledge was adopted to become a modern cropping systems. 

Sistem Usaha Tani

Sistem usaha tani dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu yang pada gilirannya, dapat dipengaruhi oleh pengoperasian sistem pertanian itu sendiri dengan sistem tanam yang memilki ciri khas tersendiri, seperti sawah yang selalu ditanami padi (Rademeker, 1990). Djamali (2000) menambahkan usaha tani yang dilakukan petani sangat bervariasi tergantung dari kondisi alam, komoditi, pola tanam dan tingkat komersialisasi, serta tingkat penguasaan faktor produksi. Setiap daerah memiliki kondisi alam yang berbeda dengan daerah lain. Perbedaan kondisi alam ini biasanya diikuti dengan perbedaan-perbedaan lain yang relevan dengan kondisi masing-masing daerah. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain berupa perbedaan fisik, ekonomi, sosial budaya dan lainnya. Karena itu, perbedaan kondisi geografi, topografi dan sosial ekonomi masyarakat setiap daerah akan berpengaruh terhadap pemilihan jenis tanaman dan hewan ternak yang dikelola.
Sistem usaha tani adalah unik dan stabil dalam perencanaan yang layak untuk melakukan kagiatan usaha tani (misalnya budidaya tanaman, peternakan, pengolahan hasil pertanian) yang dikelola berdasarkan kemampuan lingkungan fisik, biologis, dan sosial ekonomis serta sesuai dengan tujuan, kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki oleh petani (Febryanti, 2003). Norman (Rademeker, 1990) menjabarkan faktor-faktor yang mempengaruhi sistem usaha tani yang mampu menekankan berbagai faktor yang bekerja pada sistem pertanian. Manusia dan teknik pengelolaan pertanian merupakan elemen yang mempengaruhi sistem pertanian. Manusia dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya setempat, sedangkan teknik penglolaan dipengaruhi oleh faktor fisik, biologi, kimia dan mekanis alam seperti pada Gambar 1.
Sumber: Norman dan Gilbert dalam Rademaker, 1990
Gambar 1. Faktor yang mempengaruhi sistem pertanian

Sub sistem yang membangun usaha tani menurut FAO (1989 Dalam Febrianty, 2003) adalah:
1.      Sistem penggunaan lahan (land use system ) dalam sistem ini petani menggunakan sebidang lahan untuk ditanami dengan tanman, misalnya jenis tanaman pangan, termasuk tanaman hortikultura, tanaman perkebunan dan tanaman pakan ternak.
2.      Sistem produksi ternak (livestock system) selain menggunakan lahan untuk bercocok tanam, petani juga melakukan pemeliharaan ternak, baik jenis ternak besar unggas maupun ikan.
3.   Sistem rumah tangga petani (farm household system) dalam sistem ini petani melakukan usaha diluar kegiatan petani (off farm) karena dalam fungsinya sebagai makhluk individu, masing-masing rumah tangga petani memiliki karakter yang relatif  berbeda yang akan memberikan corak yang relatif berbeda pula terhadap sistem usaha taninya. Sedangkan dalam fungsinya sebagai makhluk sosial pada suatu kelompok maka rumah tangga petani saling berinteraksi sehingga merupakan sistem usaha tani. Selanjutnya sistem rumah tangga petani merupakan agen dari masyarakat di suatu wilayah atau negara maka faktor sosial, budaya, lingkungan fisik dan kebijaksanaan pemerintah akan memberikan pengaruh kepada sistem usahatani di wilayah bersangkutan.

Sistem pertanian Jawa yang asli terdiri dari sawah dan pekarangan dengan tambahan unggas dan ternak. Kemudian sistem pertanian Polinesia terkait (tanaman umbi) dan sistem ladang masuk dalam pertanian Jawa sejak abad ke delapan karena terjadinya ekspansi budaya dan tekanan penduduk di Jawa Timur dan Jawa Barat (Rademeker, 1990).
Christanty et al., 1985 menyatakan sistem pertanian lahan kering yang sesuai harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.      Ekologi.
Sistem harus melindungi tanah dari erosi dan harus memberikan hasil yang berkelanjutan tanpa menyebabkan kerusakan lingkungan.
2.      Ekonomi.
Sistem harus meningkatkan daya dukung ekosistem dan dapat menjadi sumber pencaharian dalam jangka panjang kepada masyarakat.
3.        Psikologi dan politik
             Pengetahuan tradisional yang dimiliki petani digunakan untuk menjalankan usaha taninya. Pengetahuan  lokal tersebut diadopsi untuk menjadi sistem tanam modern. 


Sumber:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons